Biografi Sutiyoso

Biografi Sutiyoso

Biografi Sutiyoso
Sutiyoso
Gubernur DKI Jakarta (1997-2007) yang berlatar militer dengan pangkat Letnan Jenderal (purn), ini akrab disapa Bang Yos. Dia salah seorang putera bangsa yang berintegritas sebagai pemimpin bangsa. Seorang pemimpin berkepribadian dan berprinsip kuat. Mantan Pangdam Jaya ini sangat layak digelari sebagai sosok pemimpin bermental platinum.


Sejak masa kecil, pria kelahiran Semarang, 6 Desember 1944, ini memang sudah ditempa dalam proses pengasuhan berdisiplin keras. Sampai-sampai anak keenam dari delapan bersaudara, ini sempat memberontak dan salah memahami didikan keras Sang Ayah Tjitrodihardjo dan kakak-kakaknya yang kemudian dilampiaskannya di luar rumah menjadi anak nakal dan sering berkelahi.

Sampai suatu saat, dibimbing dan diinspirasi kasih sayang ibunya, Sumini, dia pun merenung dan memahami tujuan baik dari ayah dan kakaknya. Kesadaran dan pemahaman itu membuatnya mampu mengubah perilaku dan paradigma arah jalan hidup, ibarat dari tanah liat menjadi emas murni atau butiran pasir menjadi mutiara berharga.

Lukisan perjalanan hidup suami dari Setyorini dan ayah dua puteri (Yessy Riana Dilliyanti dan Renny Yosnita Ariyanti), ini sungguh sebuah fenomena proses pengasuhan anak manusia yang penuh misteri dan paradoksal. Dilukis dan disepuh dalam bingkai disiplin keras dan kasih sayang. Dia ibarat anak kerang yang kemasukan pasir dalam tubuhnya yang lembek, kemudian membalutnya dengan lendir tubuhnya sehingga menjadi mutiara. (Selanjutnya baca artikel: Menyepuh Mutiara dalam Dirinya).

Dari sudut pandang paedagogie, mendidik dengan cara kekerasan tentulah bukan cara yang terbaik, bahkan merupakan cara yang sangat tidak baik. Adalah jauh lebih baik mendidik dengan pendekatan kasih sayang. Namun pengasuhan dan pembelajaran dengan kasih sayang tanpa penegakan disiplin secara tegas juga bukanlah cara mendidik yang baik. Demikianlah misteri paradoksal kehidupan itu sendiri berlangsung. Misteri yang terlukis sangat kontras dan sempurna dalam perjalanan hidup Bang Yos.

Jadilah, Bang Yos menjadi seorang pemimpin yang berani mengambil keputusan yang 'pahit' dan tak populis bahkan ditentang sebagian khalayak, tapi diyakininya benar dan strategis sebagai 'obat' terbaik untuk mengatasi suatu masalah atau mencapai suatu tujuan. Beberapa kebijakannya semula terasa 'pahit' sehingga mengundang banyak protes, tapi kemudian terbukti menjadi solusi (obat) mengatasi suatu masalah.

Visi dan kebijakan Doktor (Honoris Causa) Bidang Ilmu Politik, dari Universitas Busan, Korea Selatan (2001) dan Doktor (HC) Bidang Ekonomi dari Universitas Diponegoro, Semarang (2007), ini sepertinya terasa sulit dipahami dan diterima pada awalnya jika tidak memahami tujuan baik masa depan yang diusungnya.

Seperti, kebijakannya tentang masalah transportasi, di antaranya penggunaan badan jalan untuk busway yang semula dianggap justru menimbulkan kemacetan baru. menebangi pepohonan untuk monorel serta rencana pemberlakuan usia kendaraan. (Selengkapnya baca: Revolusi Transportasi Jakarta).

Begitu pula penertiban (yang populer disebut penggusuran) rumah penduduk di bantaran kali dan di beberapa tempat (Selengkapnya baca Wawancara Bang Yos Menjawab); perubahan badan hukum beberapa rumah sakit menjadi perseroan (Selengkapnya baca: Peduli Kesehatan dan Warga Miskin); serta peraturan tentang bebas rokok dan polusi udara (Selengkapnya baca: Progran Langit Biru); pemberian izin hypermarket dan pembongkaran pasar dan lain-lain.

Dalam mengambil keputusan dan menjalankan program yang diyakininya benar, adil (sesuai aturan hukum) dan bermanfaat untuk kepentingan umum, Bang Yos siap, berani dan sabar menghadapi berbagai tantangan bahkan caci-maki. Baginya, kepentingan warga dan bangsa yang lebih besar harus diutamakan daripada kepentingan sesaat yang hanya menguntungkan sedikit kelompok secara semu.

Keberanian seperti itu, hanya mungkin dimiliki seorang pemimpin yang cerdas, berkepribadian, berprinsip dan bermental kuat serta siap bekerja keras. Apalagi, Bang Yos memimpin Jakarta dalam dua era kebebasan yang berbeda. Di bawah kendali lima presiden dengan gaya kepemimpinan berbeda, tentu memerlukan kecerdasan, integritas, kapasitas dan kekuatan mental tersendiri. (Selengkapnya baca: Pemimpin Harus Siap Dipimpin).

Pertama kali diangkat (1997) pada era era kebebasan yang sangat dibatasi secara ketat terkendali di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Kemudian diawali kerusuhan Mei 1998, bergulir cepat memasuki era reformasi dengan kebebasan yang kadang kala melampaui koridor kebebasan itu sendiri, di bawah kepemimpinan empat presiden berikutnya (BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono) dengan gaya kepemimpinan berbeda pula.

Pada era reformasi dengan kebebasan yang bahkan sempat terbilang paling terbebas di dunia itu, Bang Yos, di tengah krisis ekonomi dan arus (reformasi) kebebasan yang sedemikian rupa, berani menjalankan kebijakan yang tidak populis. Dia bukanlah tipe pemimpin yang safety player. Walaupun itu dengan risiko sangat sering didemo oleh mahasiswa dan warga sendiri. Dikiritik tajam oleh para pengamat. Bahkan dia dianggap keras kepala dan keras hati.

Sungguh, dari sudut pandang positif, dia memang seorang yang keras kepala dan keras hati untuk suatu tujuan yang diyakininya baik (secara rasional dan nurani) bagi masa depan warga Jakarta dan bangsanya. Dia bersikukuh menjalankan berbagai kebijakan dan tindakan sebab telah lebih dahulu mempersiapkan dan mempertimbangkannya secara cermat. Untuk itu, dia pun harus siap bekerja keras, membangunkan para stafnya setiap saat bila diperlukan dalam 24 jam setiap harinya.

Bahkan sebagai seorang pemimpin yang digembleng dalam pendidikan dan karir militer, tampaknya alumni Akademi Militer Nasional Magelang (1968), Seskoad (1984), Seskogab (1990) dan Lemhanas (1994), ini pun siap menghadapi kemungkinan risiko terburuk dari setiap kebijakan dan tindakannya. Namun, keyakinan dan keberaniannya justru berbuah manis, hal mana dia terpilih kembali secara demokratis untuk periode kedua (2002-2007) memimpin kota metropolitan Jakarta.

Pada periode pertama (1997-2002) dia dihadapkan pada situasi sulit untuk mengatasi krisis ekonomi, kerusuhan massal, ketidaktertiban dan ketidakamanan yang memuncak, serta kebebasan bersuara yang kadang kala kebablasan. Dia pun berhasil memulihkan dan merehabilitasi kehidupan Jakarta, walau diwarnai berbagai rintangan, protes dan demonstrasi. (Baca: Gubernur di Masa Sulit).

Saat baru ditunjuk menjadi Gubernur DKI Jakarta (1997) tidaklah mudah bagi Sutiyoso untuk harus pensiun sebelum waktunya. Sebab dia sesungguhnya masih lebih berkeinginnan melanjutkan karir militernya. Namun sebagai prajurit pejuang, dia berprinsip harus menjalankan tugas sebagai Gubernur dengan sepenuh hati dan kemampuannya.

Perilaku kepemimpinan yang dahulu struktur komando, disesuaikannya. Sebagai perwira militer, dia mengerti betul ada hal-hal yang baik dan positif dari tradisi kemiliteran yang bisa diadopsi dan diterapkan di lingkungan sipil. Sebagai pelayan masyarakat, Bang Yos berprinsip pegawainya harus siap melayani warga 24 jam sehari.

Memasuki periode kedua, peraih Satyalencana Wira Karya dan Manggala Karya Kencana serta The Award of Honor of The President of Ukraina, ini bergerak mengakselerasi pembangunan Jakarta, terutama mengatasi berbagai masalah krusial yang sudah bertahun-tahun sulit diatasi, seperti transportasi umum dan kemacetan lalulintas, kependudukan dan pemukiman liar, banjir, sampah dan polusi yang makin naik di atas ambang batas. Beberapa kebijakannya untuk mengatasi hal-hal di atas, sangat spektakuler dan kontroversial bahkan pantas disebut sebagai revolusioner atau reformasi total.

Satu di antaranya, Pola Transportasi Makro (PTM) Jakarta atau Jakarta Macro Transportation Scheme (JMaTS), yang diawali dengan pengoperasian busway TransJakarta (Tije) sebagai titik start atau embrio reformasi total (revolusi) angkutan umum ibukota Jakarta yang lebih nyaman, layak dan manusiawi.

Program PTM Jakarta itu mengintegrasikan empat sistem transportasi umum, yakni bus priority (antara lain busway), Light Rail Transit (LRT), Mass Rapid Transit (MRT) dan Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (ASDP). Dengan PTM yang memanfaatkan tiga basis transportasi yaitu jalan, rel dan air, ditambah kebijakan traffic restraints (pembatasan lalu lintas), diharapkan kemacetan Jakarta sudah mulai teratasi pada 2007 atau paling lambat 2010.

Bapak Pembaharuan Transportasi
Program dan kebijakan ini mendapat protes dan tantangan cukup keras. Namun, tampaknya, Bang Yos sangat sadar bahwa seorang nabi pun tak luput dari protes dan caci-maki orang-orang di sekitarnya. Apalagi dia dan para stafnya hanya manusia biasa yang tidak luput dari kelemahan dan kesalahan. Kesadaran demikian ini tampaknya membuat dia makin kuat, sekuat platina (platinum, yang juga sering kali digunakan sebagai simbol penghargaan tertinggi di atas perunggu, perak dan emas).

Kendati Bang Yos sendiri tak bermaksud supaya diberi penghargaan platinum atau digelari menjadi pahlawan pembangunan Jakarta, atau setidaknya menyamai track record Ali Sadikin, namun demikianlah layaknya kepantasan seorang pemimpin yang berjiwa pahlawan yang dibutuhkan setiap bangsa. Pemimpin yang mampu dan berani mengatasi masalah sesuai dengan tuntutan zamannya.

Maka, atas visi dan kepemimpinannya, Sutiyoso dianugerahi gelar doktor kehormatan (honoris causa/HC) bidang ekonomi dari Universitas Diponegoro, Semarang, 4 Agustus 2007. Dia dinilai sebagai seorang pemimpin yang visioner dan memiliki strategi yang jelas dalam membangun Jakarta. Sutiyoso dinilai berhasil mengembangkan Jakarta menjadi kota megapolitan dengan tetap memberi ruang pada sektor riil dan usaha kecil dan menengah (UKM).

Guru Besar Fakultas Ekonomi Undip Prof. Miyasto, promotor pemberian gelar tersebut, mengatakan relokasi kegiatan sektor riil yang dilakukan Sutiyoso, dinilai juga memberi pengaruh besar terhadap tumbuhnya UKM dan perekonomian Jakarta. Mantan Pangdam Jaya ini dianggap sukses memimpin ibukota selama dua periode. Keberhasilan Sutiyoso yang paling penting selama menjabat sebagai orang nomor satu di Ibu Kota Indonesia itu, menurut Miyasto, karena yang bersangkutan merupakan pemimpin yang visioner dan memiliki strategi yang jelas dalam membangun Jakarta.

Sebelum menerima gelar doktor kehormatan (honoris causa/HC) itu, Sutiyoso tampil sebagai pembicara tunggal dalam seminar "Membangun Jakarta melalui Pemberdayaan Masyarakat dengan Cara Menggerakkan Sektor Riil", di Gedung Pascasarjana Undip, Senin 2 Juli 2004. Dalam seminar itu Sutiyoso menyampaikan bidang-bidang yang selama ini jadi fokus Pemprov DKI, antara lain infrastruktur dan bidang pemberdayaan UKM serta partisipasi publik. Dalam memimpin DKI, Sutiyoso mengaku lebih banyak menggunakan tangan besi. "Jakarta itu kan isinya binatang buas. Jadi gubernurnya harus lebih buas," katanya berkelakar.

Kemudian, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso juga dianugerahi penghargaan sebagai Bapak Pembaharuan Transportasi. Sutiyoso yang menggagas dan meluncurkan pola transportasi makro (PTM) yang mengintegrasikan empat moda transporta yakni busway, monorel, subway dan angkutan air di Provinsi DKI Jakarta dinilai mampu melakukan terobosan revolusioner untuk mengatasi transportasi di ibu kota. Penganugerahan diberikan oleh Menteri Perhubungan RI Jusman Syafii Djamal, dalam rangka HUT ke-45 Organda Tahun 2007 di Gedung Dwi Warna Purwa Lemhannas, Jl Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Sabtu 30 Juni 2007.

Sementara orientasi politik Sutiyoso belumlah dapat terbaca, khususnya apabila diposisikan menjelang 2009. Maklum masa kepemimpinannya sebagai Gubernur yang menuntutnya harus bertindak netral, itu masih berlangsung hingga 2007. Namun sebagai pemimpin yang berhasil membangun kepercayaan rakyat pastilah namanya akan sangat 'layak jual' meraih massa pemilih.





Comments

Popular posts from this blog

Profil Vitalia Sesha Model Di Kasus Suap Daging Impor - Tercanggih

Profile dan biodata Angkasa Band

Talent Pilihan SlideGossip : Andrean Saputra