Film Dokumenter Nyoman Nuarta, Biografi Pematung Jenius - Halo ...
Apa yang bisa didapatkan dari sebuah film dokumenter? Wawasan mendalam tentang sebuah hal. Atau justru menyisakan banyak pertanyaan. Dalam film dokumenter biografi Nyoman Nuarta, pematung naturalis yang diyakini sangat jenius di Indonesia, produksi Latifi 2003, yang kembali diputar di nu-art Studio, Bandung, Selasa (23/7) siang. Sebagai bagian dari kembalinya dilakukan pengerjaan mega proyek penyelesaian Garuda Wisnu Kencana (GWK) di Bali, yang sempat terhenti beberapa lama, karena satu dan lain hal, wawasan dan pertanyan itu ditubrukkan.
Meski sejatinya mega proyek GWK telah bermula dari tahun 1993 dan peletakan batu pertama baru dilakukan pada 1997, dengan dukungan penuh presiden Soeharto, dan berlanjut di era sejumlah presiden selanjutnya; Habibie, Gus Dur, Megawati dan SBY, toh pada 2002 proyek yang sempat dituduh sebagai proyek mercusuar itu, akhirnya mandeg juga.
Film berdurasi 25 menitan itu, tentu saja tidak bernarasi tentang sisik melik pengerjaan GWK dengan segala dinamikanya. Juga mengapa proyek gigantis itu macet pada 2002, tapi lebih pada pendekatan sederhana, ihwal proses kreatif kreator dan motor pertama proyek GWK, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Nyoman Nuarta. Pematung yang telah menghasilkan lebih dari 30 patung besar, yang tersebar di berbagai tempat dan kota besar di Indonesia, juga di Amerika hingga Prancis, sampai Singapura dan Filipina.
Dari patung Monumen Proklamator (1979), Arjuna Wijaya (1987), Monumen Jalesveva Jayamahe di mabes AL Surabaya setinggi 30,6 meter, hingga patung permintaan negara Timor Leste dan masih banyak lagi. Semudah itukah seniman kelahiran Tabanan, Bali, 14 November 1951, yang menempuh pendidikan di Departemen Seni Murni ITB 1973 jurusan Seni Patung mewujudkan mimpinya membuat GWK?
Dalam film dokumenter itu, diceritakan dengan segala kendala dalam mewujudkan hasil karyanya, diasiasati dengan sederhana, “Kesulitan harus dicari hikmahnya. Kalau nggak ada kesulitan nggak ada ide. Jadi hanya manusia yang hanya penuh kesulitan yang penuh ide,” katanya dalam sebuah adegan.
Dalam film, yang dijadikan semacam jalan pembuka untuk mengenal Nuarta lebih dekat itu, diceritakan juga tentang kecintaanya, yang tidak hanya pada seni rupa. Tapi juga perhatiannya pada moral bangsa, yang menurut dia manusia Indonesia cenderung tidak lagi menghargai sesama, alam juga Tuhannya. “Katanya kita berbudaya, buktinya nggak,” katanya merujuk maraknya kerusuhan antarsesama, juga minimnya pusat-pusat kebudayaan di negara yang konon sangat berbudaya ini.
Berbudaya, sepenceritaanya, tidak harus menunggu bangsa menjadi kaya raya, gemah ripah loh jinawi, “Di Bali masih banyak orang berbudaya dengan segala keapaadaannya.”
Film yang juga menampilkan pendapat Asikin Hasan, kurator seni rupa, dan Ersat R Amdarmo, kawan lama Nuarte sejak duduk di bangku pendidikan dasar ITB, itu akan mengembalikan banyak pesan kepada penontonnya tentang betapa pentingnya elan vital dalam dunia berkesenian. Sebelum ditutup dengan semacam take home message berbunyi, “Di Dalam Kematian, Garuda Wisnu Kencana Tetap Hidup.” Serta dikuti sebuah ikhtiar untuk segera mewujudkan dan merilis GWK The Movie. Sebuah dokumenter yang akan lebih detil bernarasi tentang perjalanan GWK dari awal hingga ikhtiar perampungannya, dalam waktu tiga tahun kedepan.
Source http://www.halobali.net/25814
Comments
Post a Comment