Biografi Al Hafizh Adz Dzahabi — Muslim.Or.Id
Sungguh aneh sikap mayoritas umat muslim masa kini, mereka lebih merasa tertarik kepada tokoh-tokoh nonmuslim, menjadikan tokoh-tokoh tersebut sebagai panutan, contoh, dan suri teladan. Setiap kali mereka ingin memberikan permisalan atau contoh kesuksesan seseorang, mereka pasti mengangkat dan menggunakan nama nonmuslim. Bila mereka ingin menggambarkan kecerdasan maka yang terlintas di otak dan pikiran mereka adalah kecerdasan Albert Einstein. Bila mereka ingin memncontohkan tentang semangat yang tak kenal putus asa, maka mereka mempermisalkan kegigihan seorang Thomas Alva Edison. Dan masih banyak contoh lain yang sangat sering kita lihat dan kita dengar di kehidupan kita sehari-hari.
Timbul sebuah pertanyaan besar, apakah tidak ada seorang tokoh muslim pun yang sehebat tokoh-tokoh nonmuslim tersebut, sampai-sampai kaum muslimin mengangkat nama mereka bila ingin memberikan semangat dan motivasi???!
Mungkin ini menjadi sebab umat muslim menjadi lemah, karena hidup di bawah jajahan dan naungan pemikiran non muslim. Bergaya hidup dan berpola pikir seperti mereka kaum non muslim. Secara tidak lansung baik kita sadari ataupun tidak kita bagaikan boneka yang di kendalikan oleh umat non muslim.
Sebagai solusi dari kenyataan ini, umat Islam harus memiliki jati diri sebagai seorang muslim, mereka harus mengenal Nabi mereka, para sahabatnya, dan tokoh-tokoh besar lainnya yang berpengaruh dalam kejayaan Islam, yang dengan mengenal sejarah mereka, kita dapat termotivasi dengan meyebutkan kisah hidup serta keberhasilan yang telah mereka gapai.
Pada pembahasan ini, penulis akan memaparkan biografi seorang imam besar yang kebesarannya tercatat dalam tinta sejarah peradaban Islam, beliau adalah Al-Imam al-Hafizh Adz-Dhahabiy.
Biografi Imam al-Hafizh Adz-Dzahabi
Beliau adalah: al-Imam al-Hafizh, ahli sejarah Islam, Syamsuddin, Abu Abdillah, Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz bin Abdullah at-Turkmani al-Fariqi asy-Syafi’i ad-Dimasyqi, yang terkenal dengan Adz-Dzahabi.
Adz-Dzahabi berasal dari kata adz-dzahab yang berarti emas. Nama ini beliau dapatkan dikarenakan ayahnya adalah seorang pengrajin emas, dan beliau pun pernah berprofesi sebagai pengrajin emas. Yang pada akhirnya nama inilah yang lebih dikenal hingga sekarang daripada nama asli beliau, dan beliau memang pantas untuk digelari sebagai “emas” karena ilmu dan jasa beliau selama hidupnya.
Kota Kelahiran dan Masa Perkembangan Adz-Dzahabi
Beliau dilahirkan pada Rabiul Akhir 673 H/1274 M di sebuah desa bernama Kafarbatna di dataran padang hijau Damaskus, di tengah sebuah keluarga yang berasal dari Turkmenistan, yang ikut secara kewalian kepada kabilah Bani Tamim, dan mereka menetap di kota Mayyafarqin dari daerah Bani Bakar yang paling terkenal.
Adz-Dzahabi tumbuh di tengah keluarga yang cinta ilmu dan agama. Ayah beliau bernama Ahmad bin ‘Ustman. Dia adalah orang yang baik, bertakwa, dan cinta ilmu. Ayahnya pernah mempelajari kitab Shahih Bukhari pada tahun 666 H dari seorang guru, Miqdad bin Hibbatillah Al-Qoysi. Keluarganya memberikan perhatian yang besar kepada beliau dengan mengirimnya kepada para syaikh (guru besar) yang terkenal di kota Damaskus. Adz-Dzahabi telah berhasil mendapat ijazah (rekomendasi) dari mereka semenajk masih kecil, ketika ia beliau belum genap delapan belas tahun. Perhatiannya terhadap ilmu sangat tinggi.
Perhatiannya bermula dari ilmu qiraah dan hadis. Hal ini ditunjang dengan kepiawaian dan kecerdasaannya dalam berdiskusi dan memahami ilmu, serta kemampuannya yang luar biasa untuk mengingat dan menghafal, dan cita-citanya yang tinggi untuk bertemu para ulama dan berpetualang dalam menuntut ilmu.
Adz-Dzahabi telah mencurahkan kesungguhan dalam menekuni kedua disiplin ilmu itu secara langsung dari guru besar negeri Syam yang paling masyhur pada masa itu. Beliau juga berpetualang ke Mesir, Mekah, Madinah, dan beberapa kota lain untuk tujuan yang mulia ini, hingga ilmunya menjadi rujukan (referensi) kaum muslimin. Nama beliau pun mulai bergaung di dunia Islam, dan para penuntut ilmu berdatangan dari segala penjuru. Beliau pun menjadi seorang imam dalam ilmu qiraah, penghafal hadis yang ulung, salah seorang ulama yang unggul dalam kritik hadis, dan ternama di dalam al-Jarh wa at-Ta’dil.
Aktivitas Keilmuan dan Kedudukan Adz-Dzahabi
Adz-Dzahabi sempat menduduki sejumlah jabatan keilmuan di kota Damaskus, di antaranya: sebagai khatib, pengajar, dan menjadi guru besar di sejumlah perguruan dalam bidang hadis, seperti Dar al-Hadis di Turbah Umm ash-Shalih, Dar al-Hadis azh-Zhahiriyah, Dar al-Hadis wa al-Qur’an at-Tankiziyah, dan Dar al-Hadis al-aFadhiliyah.
Kesibukan padat yang beliau jalani tidaklah menjadikan beliau terhalang untuk melakukan penelitian dan menulis karya ilmiah. Bahkan beliau telah meninggalkan kekayaan ilmiah yang besar dan penuh berkah, di mana kitab-kitab dan karya tulis beliau mencapai lebih dari 200 karya dalam berbagai disiplin ilmu: qiraat, hadis, mushthalah hadis, sejarah, biografi, akidah, ushul fiqh, dan raqa’iq (ilmu beretika).
Di antara karya ilmiah beliau adalah:
- Tarikh al-Islam
- Siyar A’lam an-Nubala
- Mizan al-I’tidal
- Al-Ibar fi Khabar man Ghabar
- Al-Mughni fi adh-Dhu’afa
- Al-Kasyif
- Tadzkirah al-Huffazh
dan masih banyak karya yang tidak tercatat dalam tulisan singkat ini.
Pujian Para Ulama Terhadap Adz-Dzahabi
Syaikhul Islam Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Aku pernah minum air Zamzam agar aku mencapai derajat Imam adz-Dzahabi dalam menghafal”.
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata tentang Adz-Dzahabi, “Keberadaan beliau telah merepresentasikan para syaikh pakar dalam penghafal hadis…”
Murid beliau, Tajuddin as-Subki dalam Syadzarat adz-Dzahab berkata, “Guru kami, Abu Abdullah adalah seorang ulama hebat yang tidak ada bandingnya. Beliau adalah gudang perbendaharaan ilmu, tempat kembali ketika terjadi permasalahan yang rumit, imam semua orang dalam hal hafalan, beliau ibarat emasnya zaman secara maknawi dan literel, guru besar al-Jarh wa at-Ta’dil, pemuka para tokoh pada setiap jalan; seakan-akan umat telah dikumpulkan pada padang yang satu lalu beliau melihatnya mulai memberitakan dari para rawi sebuah riwayat sebagaimana orang-orang yang hadir memberitakan…”
As-Suyuthi dalam Dzail Tadzkirah al-Huffazh berkata, “Yang ingin saya katakan, ‘Sesungguhnya ulama-ulama hadis sekarang dalam sub disiplin kritik rawi dan disiplin-disiplin hadis lainnya membutuhkan pada empat sosok: Imam al-Mizzi, Imam adz-Dzahabi, Imam al-Iraqi, dan al-Hafizh Ibnu Hajar’.”
Di Antara Perkataan Al-Imam Adz-Dzahabi
Imam Adz-Dzahabi berkata, “Tidak sedikit orang yang memusatkan perhatiannya pada ilmu kalam (filsafat islam) melainkan ijtihadnya akan membawanya kepada perkataan yang menyelisihi sunnah. Karena itulah ulama terdahulu mencela setiap yang belajar ilmu umat-umat sebelum Islam. Ilmu kalam turunan dari ilmu para filsuf atheis. Barangsiapa yang sengaja ingin menggabungkan ilmu para nabi dengan ilmu para filsuf dengan mengandalkan kecerdasannya maka pasti dia akan menyelisihi para nabi dan para ahli filsafat. Dan barangsiapa yang meniti jalannya para rasul, maka sungguh dia telah menempuh jalan pendahulu dan menyelamatkan agama dan keyakinannya.” (Mizanul I’tidal, III:144)
Beliau berkata, “Kebanyakan ulama pada zaman ini terpaku dengan taqlid dalam hal furu’(cabang permasalahan), tidak mau mengembangkan ijtihad, tenggelam dalam logika-logika umat terdahulu, dan pemikiran ahli filsafat. Dengan demikian, bencana pun meluas, hawa nafsu menjadi hukum dan tanda-tanda tercabutnya ilmu semakin nampak. Semoga Allah merahmati seseorang yang mau memperhatikan kondisi dirinya, menjaga ucapannya, selalu membaca al-Quran, menangis atas kejadian zaman, memperhatikan kitab ash-Shahihain (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim), dan beribadah kepada Allah sebelum ajal datang secara tiba-tiba.” (Tadzkirah al-Huffazh, II:530)
Wafatnya Al-Imam Adz-Dzahabi
Di akhir hidupnya Adz-Dzahabi mendapat cobaan, tujuh tahun mengalami kebutaan. Kemudian beliau wafat malam Senin 3 Dzulqa’dah 748 H/ 1348 M, dan dimakamkan di Bab ash-Shaghir di Damaskus.
Beberapa Pelajaran yang Dapat Dipetik Dari Biografi Al-Imam Adz-Dzahabi
Peran serta orang tua terutama seorang ayah sangat berpengaruh dalam keberhasilan anaknya.
Perilaku dan sikap seorang ayah menjadi modal awal bagi seorang anak dalam menentukan tujuan hidupnya. Bila ayahnya saleh dan bertakwa, maka anaknya pun akan meniti jalan yang telah ditempuh oleh ayahnya. Sebagaimana ayah Adz-Dzahabi mencintai ilmu, maka imam Adz-Dzahabi pun ikut mencintai ilmu.
Seorang remaja harus mempunyai tujuan dan fokus hidupnya sejak dini, agar keberhasilan yang ia cita-citankan dapat segera terwujud.
Buah dari ilmu pengetahuan adalah amal dan mengajarkannya kepada orang lain.
Karya tulis merupakan sarana yang terbaik dalam menyampaikan ilmu, karena dapat terus dimanfaatkan walau penulisnya telah meninggal puluhan abad yang lalu.
Kekurangan fisik yang kita miliki tidak menghalangi kita untuk berhasil. Imam Adz-Dzahabi telah membuktikannya walaupun penglihatan beliau telah tiada namun beliau tetap bersemangat untuk menyampaikan ilmunya dan tetap menjadi guru besar di pergurungan tinggi hadis.
Semangat untuk belajar dan mengajar harus terus berkobar mulai sejak kecil sampai berusia lanjut bahkan sampai kita meninggalkan dunia ini.
Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya yang luas kepada Imam adz-Dzahabi, dan mengampuni kita semua dan beliau, serta mengumpulkan kita dengan beliau di bawah bendera Nabi kita, Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam.
STDI Imam Syafi’i Jember, 23 oktober 2013
—
Penulis: Taufiq Hidayah
Artikel Muslim.Or.Id
==========
Silakan like FB fanspage Muslim.Or.Id dan follow twitter @muslimindo
==========
Mahasiswa STDI Imam Syafi'i Jember
Anda diperkenankan untuk menyebarkan, re-publikasi, copy-paste atau mencetak artikel yang ada di muslim.or.id dengan menyertakan muslim.or.id sebagai sumber artikel
Source http://muslim.or.id/biografi/biografi-al-hafizh-adz-dzahabi.html
Comments
Post a Comment