Biografi Teuku Umar - Pahlawan Nasional Dari Aceh

Biografi Teuku Umar - Pahlawan Nasional Dari Aceh - Sosok pahlawan yang satu ini dikenal dengan taktik perang dengan berpura-pura berkerjasa sama dengan pihak Belanda. Ia memanfaatkan kerja sama tersebut untuk mengambil keuntungan sebesar-sebesarnya guna untuk mengumpulkan senjata perang dan uang untuk berbalik menyerang pihak Belanda. Sosok tersebut bernama Teuku Umar, Ia merupakan panglima perang rakyat Aceh pada saat ketika melawan Belanda.

1. Biografi Lengkap Teuku Umar

Teuku Umar lahir di Meulaboh daerah Aceh Barat pada tahun 1854. Ia adalah anak seorang Uleebalang bernama Teuku Achmad Mahmud dari perkawinan dengan adik perempuan Raja Meulaboh. Beliau memiliki dua orang saudara perempuan dan tiga saudara laki-laki. Nenek moyang Teuku Umar merupakan Datuk Makudum Sati berasal dari Minangkabau. Salah seorang keturunan Datuk Makudum Sati yang pernah berjasa terhadap Sultan Aceh. Pada waktu itu Sultan Aceh terancam oleh seorang Panglima Sagi yang ingin merebut kekuasaannya. Berkat jasanya tersebut, Ia diangkat menjadi Uleebalang VI Mukim dengan gelar Teuku Nan Ranceh. Teuku Nan Ranceh memiliki dua orang putra yang bernama Nanta Setia dan Ahmad Mahmud. Sepeninggal Teuku Nan Ranceh, Nanta Setia menggantikan peran ayahnya sebagai Uleebalang VI Mukim dan la mempunyai anak perempuan yang bernama Cut Nyak Dhien, yang merupakan istri dari Teuku Umar.

Teuku Umar dari kecilnya sudah dikenal sebagai anak yang cerdas, pemberani, dan kadang suka berkelahi dengan teman-teman sebayanya. Beliau juga memiliki sifat yang keras dan tak mudah menyerah dalam menghadapi segala persoalan. Didalam perjalanan hidupnya, Teuku Umar tidak pernah mendapakan pendidikan formal. Meskipun demikian, tanpa itu semua ia mampu menjadi sosok pemimpin yang kuat, cerdas dan pemberani.

2. Riwayat Perjuangan Teuku Umar

Ketika perang Aceh meletus pada 1873 Teuku Umar ikut serta berjuang bersama pejuang-pejuang Aceh lainnya, umurnya baru menginjak 19 tahun. Mulanya beliau berjuang di kampungnya sendiri, kemudian lama-lama berlanjutkan ke Aceh Barat. Pada umur yang masih muda ini, Teuku Umar sudah diangkat sebagai keuchik gampong atau kepala desa di daerah Daya Meulaboh.

Pada usia 20 tahun, Teuku Umar menikah dengan Nyak Sofiah, anak Uleebalang Glumpang. Untuk meningkatkan derajat dirinya, Teuku Umar kemudian menikah lagi dengan Nyak Malighai, puteri dari Panglima Sagi XXV Mukim.

Pada tahun 1880, Teuku Umar kembali menikah dengan janda Cut Nyak Dhien, puteri pamannya Teuku Nanta Setia. Suami Cut Nya Dien, yaitu Teuku Ibrahim Lamnga meninggal dunia pada Juni 1878 dalam peperangan melawan Belanda di Gle Tarun. Keduanya kemudian berjuang bersama melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda.

Teuku Umar berpikir mencari strategi yang bagus untuk mendapatkan senjata dari pihak Belanda. Akhirnya, Teuku Umar berpikir untuk berpura-pura menjadi antek-antek Belanda. Belanda berdamai dengan pasukan Teuku Umar pada tahun 1883. Gubernur Van Teijn pada saat itu juga bermaksud memanfaatkan Teuku Umar sebagai cara untuk merebut hati rakyat Aceh. Teuku Umar kemudian masuk dinas militer.

Ketika bergabung dengan Belanda, Teuku Umar menundukkan pos-pos pertahanan Aceh, hal tersebut dilakukan Teuku Umar secara pura-pura untuk mengelabuhi Belanda agar Teuku Umar diberi peran yang lebih besar. Taktik tersebut berhasil, sebagai kompensasi atas keberhasilannya itu, pemintaan Teuku Umar untuk menambah 17 orang panglima dan 120 orang prajurit, termasuk seorang Pang Laot (panglima Laut) sebagai tangan kanannya, dikabulkan.

Tahun 1884 Kapal Inggris "Nicero" terdampar. Kapten dan awak kapalnya disandera oleh raja Teunom. Raja Teunom menuntut tebusan senilai 10 ribu dolar tunai. Oleh Pemerintah Kolonial Belanda Teuku Umar ditugaskan untuk membebaskan kapal tersebut, karena kejadian tersebut telah mengakibatkan ketegangan antara Inggris dengan Belanda.

Teuku Umar menyatakan bahwa merebut kembali Kapal "Nicero" merupakan pekerjaan yang berat sebab tentara Raja Teunom sangat kuat, sehingga Inggris sendiri tidak dapat merebutnya kembali. Namun beliau sanggup merebut kembali asal diberi logistik dan senjata yang banyak sehingga dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama.

Dengan perbekalan perang yang cukup banyak, Teuku Umar berangkat dengan kapal "Bengkulen" ke Aceh Barat membawa 32 orang tentara Belanda dan beberapa panglimanya. Tidak lama kemudian, Belanda dikejutkan dengan berita yang menyebutkan bahwa semua tentara Belanda yang ikut, dibunuh di tengah laut. Dan yang buat Belanda semakin marah, seluruh senjata dan perlengkapan perang lainnya dirampas. Sejak saat itu Teuku Umar kembali memihak rakyat Aceh untuk melawan Belanda. Teuku Umar juga menyarankan Raja Teunom agar tidak mengurangi tuntutannya

Teuku Umar membagikan senjata hasil rampasan kepada tentara Aceh, dan memimpin kembali perlawanan rakyat. dan Teuku Umar berhasil merebut kembali daerah 6 Mukim dari tangan Belanda. Nanta Setia, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar kembali ke daerah 6 Mukim dan tinggal di Lampisang, Aceh Besar, yang juga menjadi markas tentara Aceh.

2 tahun setelah insiden Nicero, pada 15 Juni 1886 merapatlah ke bandar Rigaih kapal "Hok Canton" yang dinahkodai pelaut Denmark bernama Kapten Hansen, dengan maksud menukarkan senjata dengan lada. Hansen bermaksud menjebak Umar untuk naik ke kapalnya, menculiknya dan membawa lari lada yang bakal dimuat, ke pelabuhan Ulee Lheu, dan diserahkan kepada Belanda yang telah menjanjikan imbalan sebesar $ 25 ribu untuk kepala Teuku Umar.

Umar curiga dengan syarat yang diajukan Hansen, dan mengirim utusan. Hansen berkeras Umar harus datang sendiri. Teuku Umar lalu mengatur siasat. Pagi dini hari salah seorang Panglima bersama 40 orang prajuritnya menyusup ke kapal. Hansen tidak tahu kalau dirinya sudah dikepung. Paginya Teuku Umar datang dan menuntut pelunasan lada sebanyak $ 5 ribu. Namun Hansen ingkar janji, dan memerintahkan anak buahnya menangkap Umar. Teuku Umar yang sudah siap siaga memberi isyarat kepada anak buahnya. Karena persiapan yang matan ini, Hansen berhasil dilumpuhkan dan tertembak ketika berusaha melarikan diri. Nyonya Hansen dan John Fay ditahan sebagai sandera, sedangkan awak kapal dilepas. Belanda sangat marah karena rencananya kembali gagal dan tambah penasaran ingin melumpuhkan Teuku Umar.

Perang pun berlanjut, pada tahun 1891 Teungku Chik Di Tiro dan Teuku Panglima Polem VIII Raja Kuala (ayah dari Teuku Panglima Polem IX Muhammad Daud) gugur dalam pertempuran. Seluruh rakyat Aceh merasa terpukul dengan gugurnya 2 sosok ini, begitu juga dengan Belanda yang sebenarnya sangat kesulitan karena biaya perang terlalu besar.

Teuku Umar mulai kembali merasa perang yang berkepanjangan ini sangat menyengsarakan rakyatnya. Rakyat tidak bisa bekerja sebagaimana biasanya, petani tidak dapat lagi mengerjakan sawah ladangnya. Teuku Umar pun kembali merubah taktik dengan cara menyerahkan diri kembali kepada pihak Belanda.

September 1893, Teuku Umar menyerahkan diri kepada Gubernur Deykerhooff di Kutaraja bersama 13 orang Panglima bawahannya, setelah mendapat jaminan keselamatan dan pengampunan. Teuku Umar dihadiahi gelar Teuku Johan Pahlawan Panglima Besar Nederland. Istrinya, Cut Nyak Dien sempat bingung, malu, marah dan kecewa atas keputusan suaminya tersebut.

Teuku Umar kembali menunjukkan kesetiaannya kepada Belanda dengan sangat meyakinkan. Layaknya seorang aktor hebat, Teuku Umar menyambut setiap pejabat yang datang ke rumahnya dengan menyenangkan. Ia selalu memenuhi setiap panggilan dari Gubemur Belanda di Kutaraja, dan memberikan laporan yang memuaskan, sehingga ia kembali mendapat kepercayaan yang besar dari Gubernur Belanda.

Kepercayaan itu dimanfaatkan dengan sangat baik demi kepentingan perjuangan rakyat Aceh selanjutnya. Sebagai contoh, dalam peperangan Teuku Umar hanya melakukan perang pura-pura dan hanya memerangi Uleebalang yang memeras rakyat. Pasukannya disebarkan bukan untuk mengejar musuh, melainkan untuk menghubungi para Pemimpin pejuang Aceh dan menyampaikan pesan rahasia.

Pada suatu hari di Lampisang, Teuku Umar mengadakan Pertemuan rahasia yang dihadari para pemimpin pejuang Aceh, membicarakan rencana Teuku Umar untuk kembali memihak Aceh dengan membawa lari semua senjata dan perlengkapan perang milik Belanda yang dikuasainya. Cut Nyak Dhien yang awalnya kecewa dengan suaminya mulai sadar bahwa selama ini suaminya telah bersandiwara dihadapan Belanda untuk mendapatkan keuntungan demi perjuangan Aceh. Bahkan gaji yang diberikan Belanda secara diam-diam dikirim kepada para pemimpin pejuang untuk membiayai perjuangan.

Tepat pada tanggal 30 Maret 1896, Teuku Umar keluar dari dinas militer Belanda dengan membawa pasukannya, tak hanya itu ia juga membawa 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan juga uang dengan jumlah 18.000 dollar.

Berita berkhianatnya Teuku Umar kembali menggemparkan Pemerintah Kolonial Belanda. Atas kejadian tersebut, Gubernur Deykerhooff dipecat dan digantikan oleh Jenderal Vetter. Tentara baru segera didatangkan dari Pulau Jawa. Vetter mengajukan ultimatum kepada Umar, untuk menyerahkan kembali semua senjata kepada Belanda. Teuku Umar tidak mau sama sekali memenuhi tuntutan tersebut. maka dari itu tepat pada tanggal 26 April 1896 Teuku Johan Pahlawan dipecat sebagai Uleebalang Leupung dan Panglima Perang Besar Gubernemen Hindia Belanda.

Teuku Umar mengajak uleebalang-uleebalang yang lain untuk memerangi Belanda. Seluruh komando perang Aceh mulai tahun 1896 berada di bawah pimginan Teuku Umar. la dibantu oleh istrinya Cut Nyak Dhien dan Panglima Pang Laot, dan mendapat dukungan dari Teuku Panglima Polem Muhammad Daud. Pertama kali dalam sejarah perang Aceh, tentara Aceh dipegang oleh satu komando

Pada bulan Februari 1898, Teuku Umar tiba di wilayah VII Mukim Pidie bersama seluruh kekuatan pasukannya lalu bergabung dengan Panglima Polem. Pada tanggal 1 April 1898, Teuku Panglima Polem bersama Teuku Umar dan para Uleebalang serta para ulama terkemuka lainnya menyatakan sumpah setianya kepada raja Aceh Sultan Muhammad Daud Syah.

Februari 1899, Jenderal Van Heutsz mendapat laporan dari mata-matanya mengenai kedatangan Teuku Umar di Meulaboh, dan segera menempatkan sejumlah pasukan yang cukup kuat diperbatasan Meulaboh. Malam menjelang 11 Februari 1899 Teuku Umar bersama pasukannya tiba di pinggiran kota Meulaboh. Pasukan Aceh terkejut ketika pasukan Van Heutsz mencegat. Posisi pasukan Umar tidak menguntungkan dan tidak mungkin mundur. Satu-satunya jalan untuk menyelamatkan pasukannya adalah bertempur. Dalam pertempuran kali ini, Teuku Umar gugur terkena peluru musuh yang menembus dadanya.

Jenazahnya beliau dimakamkan di Mesjid Kampung Mugo di Hulu Sungai Meulaboh. Mendengar berita kematian suaminya ini, Cut Nyak Dhien sangat bersedih, namun bukan berarti perjuangan telah berakhir. Dengan gugurnya suaminya tersebut, Cut Nyak Dhien bertekad untuk meneruskan perjuangan rakyat Aceh melawan Belanda. Ia pun dengan sigap mengambil alih pimpinan perlawanan pejuang Aceh.

Atas semua pengabdian, perjuangan dan pengorbanan nyawa Teuku umar untuk bangsa Indonesia, Teuku Umar dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Selain itu nama Teuku Umar juga diabadikan sebagai nama jalan di sejumlah kota-kota di tanah air. Tak hanya itu salah satu kapal perang TNI AL dinamakan KRI Teuku Umar (385). Pengambilan nama Universitas Teuku Umar di Meulaboh diberi nama berdasarkan namanya untuk menghargai pengorbanannya untuk rakyat Aceh..


 adalah pahlawan kemerdekaan Indonesia yang berjuang dengan cara berpura-pura bekerjasama dengan Belanda. Ia melawan Belanda ketika telah mengumpulkan senjata dan uang yang cukup banyak.

Comments

Popular posts from this blog

Profil Vitalia Sesha Model Di Kasus Suap Daging Impor - Tercanggih

Profile dan biodata Angkasa Band

Talent Pilihan SlideGossip : Andrean Saputra