BIOGRAFI FATIMAH PUTRI RASULULLAH | Ma'had Adhwa'us Salaf ...
Fatimah adalah putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling bungsu. Ibunya adalah Khadijah binti Khuwailid radhiyallahu ‘anha, istri pertama sekaligus satu-satunya istri yang melahirkan banyak anak untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Fatimah sendiri, dalam salah satu riwayat, memiliki tujuh orang saudara kandung. Mereka adalah Qasim, Abdullah, Thahir, Thayyib, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum. Semua saudara kandung Fatimah yang laki-laki meninggal dunia ketika mereka masih kecil, sedangkan saudara-saudara perempuannya meninggal dunia ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetap di Madinah—mendahului wafat ayah mereka.
Menjadi Saksi Hidup Ayahnya
Lahir beberapa waktu sebelum ayahnya menerima wahyu di Gua Hira’, Fatimah menghabiskan masa kanak-kanaknya di Makkah bersama ayah dan ibunya. Masa-masa itu adalah masa ketika Rasulullah dan para sahabatnya mendapatkan permusuhan, pengucilan, dan pengusiran dari orang-orang kafir Quraisy.
Dengan mata kepala sendiri, Fatimah kecil pernah melihat kotoran unta diletakkan di atas punggung ayahnya ketika sedang sujud di depan Ka’bah. Sementara orang-orang kafir Quraisy tertawa terbahak-bahak, Fatimah hanya diam seraya membersihkan kotoran tersebut. Waktu itu, ia telah melihat kesabaran ayahnya dalam menanggung beban dakwah.
Belum lagi beranjak remaja secara penuh, Fatimah telah kehilangan ibunya. Khadijah meninggal dunia pada tahun kesepuluh dari kenabian dalam usia 65 tahun.
Kepergian ibunya itu terjadi ketika orang-orang kafir Quraisy baru selesai mengucilkan Bani Hasyim yang masih saja membela sekaligus melindungi Muhammad dan dakwahnya. Pengucilan yang dimaksud berlangsung selama tiga tahun.
Keadaan mulai berubah sejak kaum muslimin diperintahkan untuk hijrah ke Yatsrib atau Madinah sekarang. Kehidupan Rasulullah dan para sahabat mulai beranjak normal. Mereka kembali menata kehidupan, baik itu kehidupan pribadi maupun kehidupan bermasyarakat mereka.
Menikahi Seorang Jagoan Perang
Perubahan keadaan itu juga menghampiri Fatimah. Setelah berdomisili sekitar dua tahun kurang di Madinah, Rasulullah menikahkan putri bungsunya itu dengan Ali bin Abi Thalib. Seperti yang dikatakan Adz-Dzahabi, pernikahan itu dilangsungkan setelah terjadi Perang Badar pada bulan Ramadhan tahun kedua Hijriah.
Dua tahun kehidupan pertama rumah tangga mereka adalah masa-masa sulit. Tidak seperti sahabat-sahabat Rasulullah yang pandai berdagang ke Syam dan Yaman, Ali adalah laki-laki miskin yang sering ditugaskan Rasulullah dalam banyak ekspedisi militer. Dalam sejumlah ekspedisi itulah, Ali mendapat bagian harta yang dirampas dari harta-harta musuh Islam untuk menafkahi keluarganya.
Sebagai suami Fatimah, Ali radhiyallahu ‘anhu tidak mengambil wanita lain sebagai istri, meskipun sudah biasa bagi seorang laki-laki Arab waktu itu untuk beristri lebih dari satu. Untuk suaminya itu, Fatimah kemudian melahirkan tiga anak laki-laki dan dua anak perempuan. Mereka dinamai Hasan, Husein, Muhsin, Ummu Kultsum, Zainab.
Jika Rasulullah mengabarkan bahwa Ali adalah salah seorang dari sepuluh sahabat utama yang dijamin masuk Surga, sedangkan Hasan dan Husen adalah pemuka-pemuka kalangan pemuda di Surga nanti oleh Rasulullah, maka Fatimah radhiyallahu ‘anha Rasulullah kabarkan sebagai salah seorang dari lima wanita anak Adam yang menjadi pemuka-pemuka para wanita penghuni Surga. Kabar Fatimah seperti ini dapat kita ketahui berdasarkan salah satu riwayat sahih yang berasal dari Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Dalam salah satu hadits sahih yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah pernah memberi kabar kepada Fatimah, “Wahai Fatimah, tidak maukah kau menjadi pemimpin para istri orang-orang mukmin atau menjadi sebaik-baik wanita umat ini?’.” [H.R. Al-Bukhari nomor 5928 & Muslim nomor 2450].
Dengan keutamaan seperti itu, wajarlah jika sang ayah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam betul-betul mencintai Fatimah dan membelanya—selama diizinkan Allah ‘azza wa jalla. Siapa saja yang menyakitinya sama saja menyakiti diri sang ayah.
“Fatimah,” kata Rasulullah, “adalah bagian dariku. Maka, siapa saja yang membuatnya marah, maka ia juga telah membuatku marah.” Riwayat seperti ini bisa kita lihat dalam Shahih Al-Bukhari riwayat nomor 3174, 3729, 3767 dan Shahih Muslim riwayat nomor 2449.
Ali yang sempat berencana melamar putri Abu Jahl ‘Amr bi Hisyam—salah seorang pemuka musyrikin Quraisy yang tewas pada Perang Badar—pernah mendapat teguran dari Rasulullah. Kata Rasulullah waktu itu, setelah mendengar laporan dari Fatimah,
“Kunikahkan Abul Ash bin Ar-Rabi’ (dengan Zainab), maka ia mendatangiku dan membenarkan aku. Dan, sungguh, Fatimah adalah bagian dariku, sedangkan aku tidak suka jika ia disakiti. Demi Allah, tidak akan diperistri anak perempuan seorang utusan Allah dan anak perempuan musuh Allah pada seorang laki-laki.” [HR. Al-Bukhari nomor 3110, 3729 & Muslim nomor 2449]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membela Fatimah. Karena itulah, selama hidupnya, Ali selalu merasa segan karena kedudukan Fatimah di sisi Rasulullah. Sampai untuk menanyakan permasalahan pribadi pun kepada Rasulullah, Ali meminta orang lain untuk mewakilinya.
Karena Abu Bakar Ash-Shiddiq?
Sepeninggal Rasulullah, Fatimah meminta ke Abu Bakar tanah milik Rasulullah yang ada di daerah Fadak. Pada tahun keenam Hijriah, tanah yang dimaksud menjadi milik Rasulullah setelah peristiwa penaklukan Benteng Khaibar, sebuah daerah tempat kaum Yahudi tinggal.
Bagi Fatimah, tanah itu merupakan harta warisan Rasulullah yang sudah semestinya menjadi hak keluarga dan keturunan Rasulullah. Fatimah meminta harta itu, tetapi permintaan ini ditolak oleh Abu Bakar.
Seperti yang didengarnya langsung dari Rasulullah, Abu Bakar tahu bahwa para nabi dan rasul tidak meninggalkan harta warisan ketika wafat. Abu Bakar berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Kami tidak mewariskan sesuatu. Apa yang kami tinggalkan adalah shadaqah. Hanya saja, keluarga Muhammad tidak makan dari harta seperti ini (shadaqah)’.” [HR. Al-Bukhari nomor 3093 & Muslim nomor 1759]
Dalam riwayat lain, yang juga ada dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, sabda Rasulullah itu berbunyi, “Harta warisanku tidak dibagi-bagikan meskipun itu hanya satu dinar. Apa-apa yang kutinggalkan setelah nafkah istri-istriku dan gaji para pelayanku adalah shadaqah.” [HR. Al-Bukhari nomor 2776, 3096, 6729 & Muslim nomor 1760]
Hal inilah yang menjadi dasar penolakan Abu Bakar. Ia pribadi lebih ingin, lebih memilih, berpegang pada apa yang dikatakan Rasulullah itu. “Demi Allah,” kata Abu Bakar, “aku tidak akan meninggalkan suatu perkara yang aku lihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melainkan akan pula kulaksanakan.”
Ternyata, penolakan Abu Bakar itu membuat Fatimah marah dan tidak mau mengajak bicara Abu Bakar. Keadaan ini berlangsung selama beberapa bulan. Karena menghormati istrinya, Ali terlihat seperti menjaga jarak dengan Abu Bakar.
Akan tetapi, sebagaimana yang diriwayatkan Imam Al-Baihaqi, keadaan seperti itu berubah ketika Fatimah mulai sakit pada bulan terakhir hidupnya. Mengetahui sakit itu, Abu Bakar datang menemui Ali dan meminta izin kepada Fatimah lewat perantaraan Ali untuk berbicara kepadanya.
Didampingi Ali, Abu Bakar berbicara kepada Fatimah setelah diberi izin. Maksud pembicaraan itu adalah untuk meminta maaf kepada Fatimah tentang permasalahan yang terjadi antara mereka.
Abu Bakar memulai pembicaraan dengan mengucapkan, “Demi Allah, tidaklah kutinggalkan, rumah, harta, keluarga, dan kerabatku kecuali untuk mengharapkan ridho Allah, ridho rasulNya, dan ridho kalian, wahai ahlul bait.” Ia mengulang-ulang kalimat ini sampai Fatimah memaafkannya.
Tidak lama kemudian Fatimah wafat dalam usia yang sangat muda, 24 tahun. Ali mengurusi jenazahnya. Di malam harinya, jenazah Fatimah dikuburkan Ali tanpa memberitahu Abu Bakar selaku pemimpin kaum muslimin waktu itu.
Sikap Ali dan Baiat Keduanya
Menghindari kesan buruk yang bakal berkembang di tengah kaum muslimin setelah wafatnya Fatimah, Ali memberitahu Abu Bakar tentang rencananya untuk berbaiat kembali kepada Abu Bakar. Baiat yang dimaksud akan dilakukan di Masjid Nabi dan disaksikan oleh kaum muslimin yang ada.
Rencana itu disampaikan Ali dalam sebuah pembicaraan berdua dengan Abu Bakar, tidak lama setelah wafatnya Fatimah. Dalam pembicaraan itu, Ali mengatakan,
“Sungguh, kami telah mengetahui keutamaan yang ada pada Anda dan apa-apa yang telah Allah berikan kepada Anda. Dan kami pun tidak iri kepada kebaikan yang telah Allah bawakan kepada Anda. Akan tetapi, kalian telah memaksakan kehendak kalian kepada kami, sedangkan kami memandang bahwa dengan kekerabatan kami dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kami memiliki bagian dari harta warisan beliau.”
Ali terus berbicara tentang hal itu, sementara Abu Bakar menangis. Kepada Ali, Abu Bakar akhirnya mengatakan,
“Demi yang jiwaku ada di tanganNya, sungguh, dengan kerabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih kusenangi untuk kusambung ketimbang dengan kerabatku sendiri. Adapun apa-apa yang kita perselisihkan dalam masalah harta warisan ini, maka sesungguhnya aku tidak pernah mengalihkannya sedikit pun dari kebaikan dan aku tidak meninggalkan apa-apa yang telah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan kecuali aku pun akan melakukannya.”
Sesuai rencana, baik Abu Bakar maupun Ali, akan memberikan penjelasan kepada hadirin tentang permasalahan yang sempat mengemuka antara mereka. Dengan demikian, diharapkan, tidak akan ada yang menganggap bahwa permasalahan antara mereka terkait permasalahan kepemimpinan setelah Rasulullah.
Dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah, Ibnu Katsir membawakan sebuah riwayat sahih yang bercerita tentang jalan acara baiat kedua Ali itu.
“Setelah pelaksanaan shalat Zhuhur, Abu Bakar naik ke atas mimbar lalu berkhutbah. Sehabis mengucapkan dua kalimat syahadat, Abu Bakar menyebutkan urusan yang ada pada Ali dan alasan di balik keterlambatan baiat Ali kepadanya. Ali pun kemudian ganti berbicara. Ia menyebutkan hak, keutamaan dan kesenioran Abu Bakar. Ali menyebutkan juga, bahwa keterlambatan baiatnya kepada Abu Bakar bukan karena iri terhadap kepemimpinan yang ada pada Abu Bakar. Setelah itu, Ali beranjak menuju Abu Bakar dan membaiatnya.”
Orang-orang yang hadir pada waktu banyak yang datang ke Ali. Mereka betul-betul menghargai sikap Ali seperti itu. Mereka memuji Ali seraya mengucapkan, “Ahsanta.”[]
.
Source http://adhwaus-salaf.or.id/biografi-fatimah-putri-rasulullah/
Comments
Post a Comment