Dua Rumah Melayang: Biografi Pengusaha Sukses M. Hajaz - HOME
Biografi Pengusaha Sukses – Tak peduli pahit getirnya menahan senang selama sepuluh tahun mengangsur rumah, M. Hajaz justru menjual rumah idamannya. Bukan seperti orang kebanyakan yang menjual rumah karena kebutuhan mendesak, ia justru menjual rumah demi keinginan liarnya menjadi pengusaha. Apakah usaha yang belum tentu untung itu bisa mengembalikan rumahnya atau justru melayang sia-sia?
Membeli rumah di Jakarta, ibarat membeli derita bagi seorang karyawan bergaji pas-pasan. Gaji yang benar-benar cukup untuk kebutuhan sebulan, harus dipangkas untuk menyicil angsuran kredit rumah. Sisa gaji diperketat agar dapur rumah tangga tetap ngebul. Selama bertahun-tahun sepanjang tenggat waktu angsuran, mereka harus menunda segala macam kesenangannya.
Bisa dibayangkan, betapa merdekanya bila rumah tersebut lunas. Seperti mengangkat piala kemenangan, sertifikat hak milik rumah tak bosan ditatap dari berbagai sudut. Kondisi demikian dialami M. Hajaz, 7 tahun silam. Karyawan level biasa ini, girangnya bukan kepalang. Rumahnya di kawasan Serpong, Banten, selesai dicicil setelah melewati jangka waktu 10 tahun.
Tak tergambarkan kelegaan serupa terjadi pada istri dan ketiga anaknya. Namun belum sempat berlama-lama menikmati nyamannya rumah sendiri, Hajaz – begitu ia disapa, berubah pikiran. Ia menjual rumah yang telah susah payah didapatkannya itu. Ia tidak sedang gelap mata. Hanya saja, alasannya mungkin terasa aneh di telinga. Merasa gajinya tak sanggup menjamin masa depan ketiga anaknya, ia ingin cari sumber penghasilan lain dengan menjadi pengusaha.
“Saya juga dianggap aneh oleh istri dan orang tua saya,” cerita Hajaz pertama kali mengutarakan niat menjual rumah kepada orang-orang terdekatnya. Ia tak terpukul, tetapi justru tertantang. Segala trik dilakukannya meyakinkan mereka. Singkat cerita, keluarganya akhirnya larut bersama tujuannya menjadi pengusaha. Hanya satu syarat yang harus dipenuhinya, usahanya harus untung bila tak ingin rumahnya melayang sia-sia.
“Sisa penjualan rumah itu saya pakai buat dp (down payment) rumah baru,” imbuhnya menjawab syarat itu dengan ide yang bisa dibilang gila tersebut. Masalah modal pun sudah ia atasi. Usaha digital printing berlabel Izzi Print mulai dioperasikannya dengan menyewa salah satu tempat di Rawamangun, Jakarta Timur. Zona baru mulai ditapakinya. Zona yang pernah dirasakannya selama 10 tahun menyicil rumah mulai terulang. Tetapi bebannya bertambah sepuluh kali lipat.
Pasalnya, selain harus menyicil rumah setiap bulan, tanggung jawab sebagai kepala keluarga harus dipenuhinya. Tak berhenti di situ, ia juga harus memikirkan biaya operasional usaha, gaji pegawai hingga sewa tempat tahun berikutnya. “Mungkin karena digital printing masih baru saat itu yang bermain di kelas bawah, usaha saya di tahun awal cukup ramai,” jelasnya. Omset dalam satu bulan berkisar di angka Rp30 juta.
Ia pun tenang. Kewajibannya aman di awal tahun. Kantong yang tadinya diprediksi bolong, tetap tebal. Namun, di tahun berikutnya ia ditampar oleh kelakuan karyawannya sendiri. “Karyawan tersebut membuat saya kehilangan order seratus persen dari klien-klien besar,” tukas pria kelahiran Gresik ini. Karyawan itu, memasukan seluruh order klien-klien besarnya ke tempat orang lain. Izzi Print pun goyang sebab pendapatannya minus.
“Saya akhirnya turun tangan mencari klien, ikut motret dan sebagainya,” jelas suami Elfi ini. Menurutnya, pembelajaran dari itu, ia lebih hati-hati lagi dalam bekerjasama dengan siapa pun. Ia mulai dari nol untuk mencari klien dalam skala besar sebab data base dibawa kabur oleh marketing yang telah berkhianat tersebut.
“Sampai-sampai saya diusir secara halus oleh pemilik tempat usaha,” ceritanya tentang dampak dari kelakuan karyawannya tadi. Namun ia tetap sabar. Ia tak melawan, tetapi berserah kepada Yang Kuasa. Ia pun mundur pelan-pelan dari tempat usaha itu, dan mencari tempat usaha lain yang lebih terjangkau. Akhirnya, tak jauh dari situ ia mendapatkan sebuah tempat yang lebih murah. Dari tempat itulah, ia kembali mencatat cerita gemilang.
Order klien besar datang kembali. Sampai-sampai ia kewalahan saking banyaknya order. Ia pun semakin tahu seluk-beluk bisnis digital printing. Kendati telah beranjak naik, Hajaz kembali gila. Cicilan rumah baru belum kelar, ia malah membeli sebuah usaha waralaba. Bukan cuma itu. Ia juga kesengsem dengan usaha laundry. “Untuk tambahan operasional dan usaha laundry ini, rumah yang sudah saya cicil tiga tahun itu saya jual lagi,” ucapnya tentang perbuatan nekatnya tersebut.
Lebih gila lagi, penjualan rumah itu tak disisihkan lagi untuk uang muka rumah baru. “Saya justru membeli mobil,” katanya. Siapa pun tak mengerti jalan pikiran Hajaz. Sudah dua kali menjual rumah, seharusnya kapok atau setidaknya membeli rumah baru lagi. Hanya saja, ia beralasan, dengan mobil itu selain bisa menghibur anak-anak, juga bisa dimanfaatkan sebagai aset yang melancarkan usahanya.
Usahanya pun berjalan lancar. Brand waralabanya dan usaha laundry bahkan telah balik modal. Dari itu, ia tinggal menunggu laba yang bertelur setiap bulannya. Izzi Print bahkan terus menerus mendapatkan order dari berbagai klien besar, di Jakarta hingga daerah melalui beberapa cabangnya.
Keputusan gila Hajaz tak keliru. Kini dengan menjadi pengusaha, ia bisa membeli rumah ketiga yang nilainya berpuluh kali lipat dari rumah pertamanya dulu. Ia juga telah memiliki mobil dan bisa menjamin masa depan yang cerah bagi ketiga anaknya. “Walau tidak terlihat, jaminan masa depan anak saya lakukan melalui berbagai asuransi,” pungkas Hajaz.
Link This Post: http://myseofighter.com/2013/06/06/dua-rumah-melayang-biografi-pengusaha-sukses-m-hajaz.html
Related Posts
Source http://myseofighter.com/2013/06/06/dua-rumah-melayang-biografi-pengusaha-sukses-m-hajaz.html
Comments
Post a Comment